SERI EKO-SUFISME #18: KHUSYU’ ITU GAMPANG

Suwito NS

 

Seringkali kita membahas shalat khusyu. Banyak orang beranggapan shalat khusyu’ itu sulit. Kalau kita anggapan dan berkeyakinan sulit, ya maka yang terjadi adalah sulit. Hasilnya akan betul-betul sulit. Karena kesulitan telah kita stempelkan dalam hati dan pikiran kita. Ini selaras dengan hadits qudsi yang menyatakan:

“Allah sebagaimana disangka hambaNya (Ana ‘inda dzanni abdi bi).

Sebaliknya, kalau kita yakin khusyu’ itu mudah, maka yang terjadi adalah mudah. Kalau begitu, kita harus luruskan keyakinan (aqidah) kita. Prasangka memang harus baik. Tidak boleh ada prasangka buruk. Apalagi prasangka kepada Allah. Dengan begitu, keyakinan baru kita adalah bahwa shalat khusyu’ itu gampang (mudah). Ini adalah keyakinan baru, prasangka baik baru, dan sekaligus do’a baru kita.

Kita seringkali gagal paham tentang shalat khusyu’. Sering kita pahami mungkin sampai saat ini, shalat khusyu’ itu harus hening dan sepi dari suara-suara, termasuk suara anak-anak. Bahkan, seringkali kita harus marah-marah dengan kondisi jamaah yang masih anak-anak yang masih berisik, menangis, dan main sendiri. Kita juga masih belum bisa khusyu’ dengan jamaah di depan kita yang memakai kaos dengan tulisan di punggungnya. Itu semua dampak dari prasangka bahwa khusyu’ itu sulit. Padahal, secara hakiki, khusyu’ itu yakin ketemu Allah dan yakin akan kembali berpulang padaNya (QS. Al-Baqarah: 46).

Dengan masuk pada paradigma dan keyakinan baru, bahwa khusyu’ itu mudah, dengan demikian kita telah berusaha membuka hijab (penutup) antara kita dengan Allah. Allah pun akan memudahkan cara khuyu’ shalat kita. Hal ini karena pemberi nikmat dan pemegang kendali khusyu’ adalah Allah sendiri. Dengan prasangka baik tersebut, Allah akan membuka hijab (penutup) yang menyebabkan sulitnya khusu’ itu, sehingga khusyu’ menjadi mudah.

Praktiknya, dalam pelaksanaan shalat, seluruh yang ada harus dikonekkan (dihubungkan) dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Termasuk pikiran-pikiran “liar” kita yang masih sering melayang kemana-mana saat shalat. Praktik shalat khusyu’ dengan cara shalat kita rasakan, bahwa tidak ada sesuatu yang tidak terkait dengan Allah. Dalam shalat kita berkeyakinan bahwa, semua yang ada di alam ini adalah tajallinya (pengejawantahan Allah dalam wujud makhlukNya). Anak-anak dan tangisannya adalah tajallinya Allah. Kendaraan yang melintas dengan klaksonnya adalah makhluk, yang itu merupakan tajallinya Allah. Dering HP yang kebetulan bunyi adalah makhluk Allah. Tulisan di punggung jamaah lain adalah makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian, semakin ramai semakin khusyu’, karena ini adalah cara Allah mengonekkan (menyambungkan) kita pada Allah.

Namun, syaratnya, jangan terlalu lama pikiran kita singgah di dunia makhluk itu, apapun itu jenisnya dan bentuknya (bentuk, suara, keadaan, dst). Termasuk ketika kita membaca bacaan-bacaan shalat, sebaiknya jangan terfokus pada bacaan dan arti bacaannya. Kita harus segera pindah dari makhluk ke al-Khaliq, yakni Allah. Inilah khusyu’. Dengan demikian, ngelanturnya pikiran kita adalah sarana khusyu’, selagi kita bisa segera menghubungkan pikiran kita dan pindah mengingat Allah subhanahu wa ta’ala.

Kita bisa shalat secara rileks, nyaman, bukan sebagai beban dan kita selalu mencoba memfokuskan seluruh apa yang kita dengar, apa yang kita baca, apa yang kita lihat pada saat shalat, semua itu tersambung dengan Allah.

Kita bisa melihat karpet tempat kita shalat yang kebetulan tidak polos, masjid dengan ramai anak-anak, jamaah yang beragam baju dan kostumnya, suara imam yang tidak merdu, letak masjid yang ramai di jalan protokol dengan ramai kendaraan, hp jamaah yang lupa di silent dan berdering membuat shalat kita semakin khuyu’, karena Allah membantu kita dengan banyak tajalli (pengejawantahan Allah melalu makhlukNya) itu. Nikmat sekali, jika posisi hati dan pikiran kita sampai pada tahapan ini. Semakin ramai semakin khusyu’. Karena banyak tajalli Allah yang ditunjukkan pada kita. Mari kita coba lakukan. Tulisan di atas, hasil elaborasi dan praktik sebagaimana diajarkan oleh Gus Fauzan, Pengasuh Pesantren Sufi Haqquna, Qalbun Salim, Panceng, Gresik.

 

Allah A’lam bi al-shawab

Berbagi Ilmu:

16 komentar untuk “SERI EKO-SUFISME #18: KHUSYU’ ITU GAMPANG”

  1. Luar biasa penjelasan & wedarannya tentang mudahnya “khusyu'”. Namun, untuk melakukan peralihan dari dimensi mahluk ke al-Khaliq, seringkali terlewatkan karena ketidak mampuan diri menjaga ke-sadar-an (lagi-lagi masih terbelengu dengan paradigma / keyakinan lama tentang khusyu’).
    Saya lahir di Panceng-Gresik Pak, tapi malah tidak tau tentang Pesantren Sufi Haqquna. Insyallah, nanti pas mudik saya akan ngangsuh kaweruh disana.
    Salam hormat.

  2. Super, padahal selama ini para kyai dalam ceramahnya menanamkan bahwa khusu itu hampir tdak dapat dilakukan oleh manusia biasa bahkan para sahabat jga tidak bisa sebagaimana kisah sorban rasul sebagai hadiah lomba shalat khusu. Tapi tulisan edisi 18 ini sungguh super membawa paradigma baru bahwa khusu itu milik kitA semua dan dapat diraih, Maturnuwun pak.

Tinggalkan Balasan ke F Adhim Batalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *