Suwito NS
Suatu hari, saat perjalanan pulang selepas betugas di Kota Banjarnegara (Jawa Tengah), saya bersama teman-teman dikejutkan oleh pengendara mobil Kijang di depan saya. Mobil itu sepertinya ditumpangi oleh beberapa orang. Dalam keadaan melaju kencang, di antara penumpangnya membuka jendela dan menghempaskan berlembar-lembar uang pecahan “merah” seratus ribu-an. Uang itu langsung bertaburan ke jalan. Ada yang terhempas di aspal tengah jalan, ada yang terhempas di rerumputan pinggir jalan. Karena penasaran, teman supir saya menghentikan mobil yang kami tumpangi. Ternyata, uang itu asli. Entah apa motif penyebar uang itu hingga kini tidak kami ketahui. Uang yang berhamburan tersebut membuat orang di sepanjang jalan berebut mengais dan senang.
Pada kesempatan lain. Pada beberapa kesempatan, berkali-kali sekali saya menjumpai pengendara mobil bagus, bahkan mobil itu tergolong mewah, sedang melintas. Tiba-tiba penumpangnya juga membuka pintu jendela dengan tombol otomatisnya. Setelah terbuka hampir penuh, tiba-tiba sekantong plastik terlempar dan berhamburan dari jendela itu. Sampah itu berserakan di jalan. Karena ikatannya lepas, saya bisa melihat sebagian isinya. Ada kulit pisang, rambutan, salak, dan beberapa botol air kemasan.
Di lain kesempatan, saya saat hendak pulang ke rumah. Ada seorang ibu memboncengkan anak remajanya yang baru selesai sekolah. Baju sekolahnya saja masih tampak jelas, bahwa dia anak remaja yang sekolah. Saya lihat ditangannya memegang plastik lengkap dengan sedotannya. Dia dengan santai berboncengan motor bersama ibunya. Sesekali dia menyedot es teh di plastik yang dia pegang. Tiba-tiba, “Piyar”, plastik yang masih ada sisa-sisa es batunya di lempar ke pinggir jalan.
Tiga kasus di atas, mungkin yang paling menyenangkan adalah cerita pertama. Semua orang akan senang. Apalagi mereka yang berhasil mendapat banyak. Mengais uang yang berhamburan. Walaupun cara pemberian sedekah ini tergolong membahayakan orang lain.
Sedangkan kasus ke dua dan ketiga ini sangat memprihatinkan. Masalah sampah di negeri kita (khususnya) menjadi masalah yang besar. Kenapa ? Karena, sebagian besar orang yang berpendidikan sekalipun, temasuk anak-anak sekolah, dan orang-orang pernah sekolah tidak menunjukkan kepedulian masalah sampah. Sangat memprihatinkan.
Bagi kita, masalah sampah sepertinya masih menjadi urusan petugas kebersihan atau cleaning service saja. Selanjutnya, cleaning service dan petugas kebersihan lainnya juga memiliki mind set yang hampir sama. Sampah menjadi tanggungjawabnya saat dia bertugas saja. Selebihnya, merasa bukan tanggungjawabnya. Di luar tugas tidak menjadi tanggungjawabnya.
Memang, di sini, kita tidak perlu cari kambing hitamnya. Semua elemen harus menyadari “darurat sampah”. Mulai dari pemerintah yang paling tinggi hingga paling rendah, sekolah, kampus, politisi, agamawan, hingga individu masyarakat harus mulai menyadari bahwa kita sedang “darurat sampat”.
Hal kecil yang bisa kita lakukan adalah kita menyadari dan bertanggungjawab pada sampah kita sendiri. Caranya adalah membuang sampah kita ke tempat sampah. Seringkali kita jumpai atau bahkan kita sendiri melakukannya, misalnya, saat rapat kita mendapat makanan ringan (snack) lengkap dengan kardusnya. Seiring dengan berjalannya rapat, kita menyantap snack itu, habis tidak berbekas kecuali sampahnya (plastik bungkus roti, gelas air kemasan, tusuk gigi, daun, tisu, dan kardusnya). Rapat itu akhirnya selesai. Juga pada kegiatan-kegiatan lain seperti pengajian umum, karnaval, jalan sehat, pertunjukan wayang dan lain-lain.
Coba kita perhatikan, berapa orang yang sadar membawa kardus dan sampahnya sendiri ke tempat sampah yang jaraknya tidak lebih dari 3 meter. Namun yang kita jumpai, sampah-sampah itu tergeletak begitu saja karena telah ditinggalkan pemiliknya.
Padahal, kita tahu, dalam Islam menekankan kebersihan, seperti pada QS. Al-Baqarah: 222. “….sesungguhnya Allah menyintai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan (membersihkan) diri”.
Ada lagi ungkapan yang sangat terkenal termasuk dihafal oleh anak-anak muslim yang masih taman kanak-kana (TK), “Al-Nadzafatu minal Iman, artinya, Kebersihan itu separoh dari iman”
Makna yang bisa kita ambil dari pesan moral Islam adalah Allah menyintai orang-orang yang bersih, baik bersih secara ruhaniyah (bertaubat dari dosa), dan bersih (dari sampah) secara lahiriyah. Pikiran bahwa sampah adalah urusannya cleaning service. “Sudah ada petugasnya”, kata sebagian besar orang. Ini adalah paradigma (pola pikir) yang keliru.
Sampah kita adalah tanggung jawab kita sendiri. Secara teologis, kita akan terkena dosa ekologis jika menelantarkan tanggungjawab (amanah) aspek ini. Allah akan menghisab seluruh aspek kehidupan kita, termasuk tanggungjawab ekologis kita. Termasuk pada sampah kita.
Kita harus sadari mulai diri kita sendiri. Menelantarkan sampah kita sama dengan menghianati amanah. Menghianati amanah berujung pada murka Allah. Sebaliknya, mengurus sampah kita berarti menjalankan amanat. Menjalankan amanat berujung pada dekatnya Cinta Ilahi pada kita. Pendeknya, mengurus sampah adalah ibadah. Ibadah itu bisa kita sebut dengan jihad ekologis.
Jihad ekologis merupakan kesadaran yang lebih tinggi terkait dengan masalah lingkungan (ekologi). Salah satu bentuk implementasi jihad ekologis adalah: 1) mengurus/membuang sampah kita sendiri, agar tidak menjadi beban orang lain, 2) mengajak orang untuk mengurus/membuang sampah dengan tepat.
Cara mengajaknya bisa secara kultural (ajakan biasa) atau dengan sistem (struktural). Andaikan kita jadi pimpinan di kampus/sekolah/kantor atau instansi pemerintahan kita bisa buat, a) SOP tentang rapat yang anggotanya harus membawa sampahnya sendiri ke tempat sampah, b) membuat aturan-aturan lain tentang penanganan sampah. Misalnya membuat aturan tentang kewajiban memungut sampah yang berserakan (yang tidak ditempatnya) pada radius terntentu di mana dia berada. Radius satu meter atau 2 meter. Atau aturan-aturan lain tentang sampah seperti pemilahan sampah, dan penyadaran akan bahaya, manfaat, dan rizki yang muncul dari sampah.
Namun yang gampang kita lakukan adalah bertanggungjawab pada sampah kita sendiri agar sampah tersebut tidak bertebaran kemana-mana. Kemudian kita ajak orang-orang terdekat kita untuk mengurus dan membuang sampah kita sendiri di tempat yang tepat (pada tempatnya).
Jika kita tahu dan sadar bahwa mengurus sampah kita sendiri dan sampah orang lain sebagai sedekah, maka kita akan dengan senang hati, rela, tanpa keterpaksaan akan memungut sampah-sampah itu seperti taburan uang yang dihempaskan oleh seorang pengandara Kijang pada cerita di awal tulisan ini.
Allah A’lam bi al-Shawab
GS Purwokerto, 21 Mei 2017
Sip banget pak sangat setuju. Smg diri kita dan kampus kita menyadari pentingnya menjaga kebersihan.
Disinyalir pendidikan anak tdk secara tegas bahkan keras mengantarkan kekepedulian dan kesadaran akan kebersihan lingkungan. Padahal sudah jelas pendidikan Islam mengajarkan “KEBERSIHAN ADALAH SEBAGIAN DARI IMAN”
Saya sering menyebut siapapun yang membuang sampah sembarangan dengan predikat “TK pun tidak lulus”
Iya pak, bagaimana problem ini dapat kita atasi…
Budayakan, suarakan, regulasikan… LIMBAH (lihat, ambil, dan buang di tempat sampah)
Ini yang menjadi trade mark MIN 1 Banyumas ya Pak…