SERI EKO-SUFISME #20: PURNAMA DI SAAT SABIT ?

Suwito NS

 

Tak terasa, waktu berjalan terus. Begitu cepat. Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Baru saja, kita memasuki akhir Januari 2017. Ini berarti, umur kita telah berkurang  lagi. Ibarat permainan atau game yang berbasis (berdasar) waktu, permainan itu semakin dekat dengan waktu selesai, alias game over, mati, atau berkesudahan, finish.

Namun demikian, masih banyak pekerjaan rumah dan tugas kemanusiaan yang belum sempat kita tunaikan. Pertanyaannya, bagaimana peran kita selama ini ? jika diibaratkan dengan bulan yang menjadi dasar penghitungan penanggalan hijriyah, bagaimana “sinar” kita selama ini ? Sudah punama kah kita ? Sudah pernah purnama kah kita ini ? Pernahkah kita belajar dari bulan ?

Kita tentu tahu bahwa bulan, sebagai basis penanggalan hijriyah berbeda dengan matahari yang menjadi basis penanggalan masehi. Di antara perbedaannya adalah matahari selalu datang dengan wujud penuh (full). Pada keadaan normal, tidak pernah ada matahari sabit. Siklus matahari dalam sehari adalah: tidak ada (fajar), pagi, siang, sore, tidak ada lagi (malam).

Berbeda dengan siklus bulan. Saat tanggal muda dia datang dengan wujud yang sangat kecil, bahkan tidak tampak mata, kemudian sabit, membesar, menjadi purnama dan kembali lagi sabit, mengecil, dan hilang. Keadaan ini tidak pernah dialami oleh matahari yang datang secara ajeg (konstan).

Berbicara tentang bulan sabit, Allah dalam QS. 2: 189 telah menyinggungnya:

“Yas’alunaka `an-al-ahillah. Qul hiya mawaqit li al-nas fi al-hajj”

(“Mereka bertanya padamu tentang ahillah (bulan sabit), katakanlah bahwa dia adalah mawaqit (waktu-waktu) bagi manusia dan untuk ibadah haji…”.

Dalam konteks ini mawaqit, dapat dipahami sebagai rentang waktu yang dinamis, berjalan terus, dan memiliki durasi (batas). Pelajaran yang dapat dipetik dari bulan sabit terutama pada konsep mawaqit kaitannya dengan ahillah adalah bahwa proses perjalanan manusia yang sangat mirip dengan perjalanan bulan. Awalnya kita tidak ada, kemudian lahir, wujud kita sangat kecil-mungil dan lemah, berkembang lebih besar dan kuat, besar dan sangat kuat, kembali mengecil dan melemah, hingga akhirnya sangat lemah, dan tiada.

“Bulan” adalah siklus kehidupan, dari tidak ada, sabit, purnama, sabit lagi, dan tiada. Ini adalah siklus waktu yang perlu direnungkan oleh setiap manusia yang hidup dalam siklus seperti siklus bulan. Hanya saja, munculnya bulan pada satu siklusnya pasti selalu purnama. Purnama dalam konteks ini dia memberikan sinar paling terang pada semesta alam. Sinarnya dirindukan oleh semesta bumi. Sinar purnamanya menginspirasi anak-anak menjadi riang bermain di bawah pancaran sinarnya yang khas. Gravitasi purnama menarik samudera hingga pasang, dan seterusnya. Purnama adalah “puncak peran” bulan pada semesta bumi. Dia purnama di pertengahan umurnya, yakni di hari ke 15 dari  29 atau 30 hari umurnya.

Pelajaran yang bisa kita petik, sudah pernahkah kita menjadi purnama ? Kalau saja Allah memberi umur pada kita sebagaimana umur Rasulullah, 63 tahun, berarti purnama kita, kalau belajar dari bulan berarti purnama kita harusnya di sekitar usia 31,5 tahun. Hal ini ketika dikaitkan dengan wejangan Rasulullah yang mengatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya kepada manusia lain.

Dengan demikian, purnama adalah zenith atau puncak di mana karya dan amal kita bisa memberi manfaat sebesar-besarnya pada semesta alam, tidak hanya pada manusia tetapi seluruh alam semesta. “Purnama” adalah fase di mana seseorang dapat memerankan sebagai wakil Allah (khalifatullah) di bumi yang tugas utamanya adalah rahmat li al-`alamin  (menyayangi seluruh alam). Anehnya, memang sebagian besar manusia tidak berhasil meraih fase purnama ini walaupun pekerjaan formalnya sudah purna (pensiun).

Namun demikian, tidak ada kata terlambat. Walau usia kita telah berada pada fase sabit kedua, atau setelah separoh akhir. Dengan kesadaran bahwa hingga saat ini kita belum pernah menjadi purnama, saat ini pula lah kita berniat menjadi “purnama” walau di waktu atau tanggal sabit fase kedua (tua). Dengan niat dan usaha yang sungguh-sungguh, keberadaan kita menjadi lebih berarti dan menjadi lebih bermanfaat bagi siapapun yang ada di sekitar kita.

Wejangan yang sangat terkenal dari Rasulullah, beliau bersabda:

Dari Ibn Abbas, ra berkata, Rasulullah SAW bersabda seraya menasehati seseorang, beliau berkata: “Bersegeralah pada lima hal sebelum datang lima hal, 1) masa mudamu sebelum tuamu, 2) masa sehatmu sebelum sakitmu, 3) masa kayamu (mampu) sebelum fakirmu, 4) waktu luangmu sebelum masa sempit (sibukmu), 5) hidupmu sebelum matimu.

Rasulullah telah memerankan siklus ini, bahkan purnama beliau tidak pernah mengecil menjadi sabit. Dia selalu purnama. Sangat pantaslah beliau disebut dalam al-Barjanji dalam untaian bait, thala’al al-badru alaina (telah muncul purnama pada kita). Tulisan ini terinspirasi dari khutbah Jumat kawan saya Pak Mustain (Dosen IAIN Purwokerto) tentang pergantian tahun yang kemudian saya kembangkan.

 

Wallahu a’lam bi al-Shawwab.

Berbagi Ilmu:

2 komentar untuk “SERI EKO-SUFISME #20: PURNAMA DI SAAT SABIT ?”

  1. Semoga kita bukan saja pernah atau selalu jadi purnama tapi dapat pula mempersiapkan dan mewujudkan generasi purnama, aamiin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *