Suwito NS
Saya sering merasa telah menjadi orang baik. Saatnya shalat, saya melaksanakan shalat. Saya memakai baju koko yang menjadi simbol ketakwaan. Kadang kala, saya juga berpuasa sunnah dan bangun untuk shalat malam. Intinya, saya merasa telah menjadi orang baik.
Namun, di sisi lain saya terkadang agak jengkel kadang marah terhadap orang lain yang tidak melakukan seperti saya tadi. Malas ibadah, banyak maksiat, urakan, atau perbuatan-perbuatan buruk lainnya.
Setelah saya pikir-pikir, kebaikan, kalau itu betul-betul baik, yang melekat pada saya sebenarnya bukan prestasi saya. Bisa jadi, saya hanya mendapat jatah lebih banyak kebaikan yang diberikan oleh Allah. Seringkali saya merasa sombong dan terlalu bangga terhadap kebaikan yang melekat pada saya. Kesombongan yang sama sekali tidak layak ada pada siapa saja, termasuk saya.
Inilah yang dijelaskan Allah dalam QS. al-Baqarah: 64:
”…fa laula fadhullah wa rahmatuhu lakuntum min al-khasirin”,
(Sekiranya bukan karena pemberian Allah dan bukan karena kasih sayangnya, maka kalian dipastikan menjadi orang-orang yang merugi). Ayat di atas menjelaskan tentang perilaku kita yang secara sadar maupun tidak sadar terkadang terjebak pada sifat merasa telah menjadi orang baik. Padahal, menjadi baik itu anugerah (fadhal). Sifat ini terkadang menjadi pemicu dan penyebab melihat rendah orang lain. Demikiankah Anda ?
Seringkali karena kita telah merasa lebih bertakwa kemudian menyebabkan pada sikap tidak simpatik bahkan marah pada orang lain yang tidak seirama dengan kita. Misalnya, kita telah merasa rajin ibadah shalat dan melaksanakan tepat di awal waktu, tapi memandang rendah orang lain yang tidak melaksanakan seperti kita.
Sekali lagi, kebaikan yang kita “miliki” tersebut sebenarnya adalah anugerah (fadhal). Sekiranya tidak ada fadhal tersebut, tidak ada kebaikan yang kita miliki. Anugerah tersebut sebaiknya kita tularkan kepada saudara-saudara kita dengan sapaan yang manusiawi, bukan dengan cara memarahinya. Inilah cara berdakwah yang baik (ma’ruf). Karena kebaikan yang berikan Allah pada kita adalah sebenarnya ujian bagi kualitas hati dan nafsu kita.
Bukan berarti kita serba boleh melakukan apa saja (termasuk maksiat). Sekali lagi bukan. Tetapi, ini adalah persoalan strategi dakwah yang mengedepankan kasih sayang dan cinta kasih, serta memanusiakan manusia sebagaimana Rasulullah mengajari kita.
Di sisi lain, Allah sedang menguji di mana posisi kualitas nafsu dan hati kita ? Jika masih seperti itu, nafsu kita baru sedikit naik ke level lawwamah, yakni sudah mampu meninggalkan keburukan, tapi masih terjebak pada keburukan lainnya yakni suka maido (memarahi) orang lain. Ayo kita tingkatkan kualitas nafsu dan hati kita hingga ke level berikutnya mulhimah (terilhami), mutmainnah (tenang), radhiyah (rela), mardhiyyah (merelakan), kamilah (sempurna). Mungkin kalau pencapaian tertinggi tidak bisa, paling tidak di mutmainnah (jiwa yang tenang).
Di antara cara meningkatkan kualitas nafsu dan hati kita adalah membaca dan merenungkan ayat-ayat Allah baik yang tertulis dalam al-Qur’an maupun tercipta di alam semesta. Misalkan, dalam al-Qur’an, Allah menciptakan makhluk berpasang-pasangan. Ada baik, ada buruk. Rajin berpasangan dengan malas. Taat berpasangan dengan ingkar. Panjang berpasangan dengan pendek, dan seterusnya. Inilah sifat makhluk yang sifatnya beragam. Keragaman ini menjadikan ladang amal bagi orang yang memiliki kesadaran dan kearifan hidup.
Orang rajin yang sadar dan memiliki kearifan akan mengerahkan potensi rajinnya untuk dibagikan kepada orang yang masih malas. Dia bukan membenci orang malas, tetapi menjadikannya menjadi ladang amal dia dengan cara menjadikan pemalas agar menjadi rajin. Dengan cara yang bijaksana tanpa merendahkan sifat ”buruk” tersebut menjadi semakin baik.
Membenci sifat buruk dengan merendahkan martabat kemanusiaan pada hakikatnya adalah bentuk kesombongan dan kecongkakan yang halus, soft arrogant. Sifat buruk ini ternyata menyelinap dalam relung jiwa kita. Keberadaannya terkadang tidak kita sadari dan menjebabkan pemilik kebaikan jatuh pada keburukan. Kebaikan seolah-olah miliknya, keburukan seolah-olah milik mereka.
Allah A’lam di al-Shawab
Sdh mirip bhsnya prof nazarudin umar😁😂😃
*********
Bagaimana cara kita menunjukkan ketidaksetujuan pada kemungkaran dan membuka harapan bagi pelakunya akan rahmat Allah jika meninggalkannya? Sebuah teknik dakwah yg perlu kajian dan implemebtasi.
Menurut saya, ara kita menunjukkan ketidaksetujuan pada kemungkaran: 1) kita tidak ikut partisipasi pada kegiatan itu, 2) kalau kita, mampu kita “belokkan” ke arah yang benar. Yang kedua ini dakwah dengan strategi budaya. Rasulullah melakukan konstruksi budaya pada ibadah haji. Haji telah ada sejak sebelum Nabi Muhammad. Jaman jahiliyah, haji diselewengkan dengan melakukan thawaf sambil telanjang. Ini diluruskan oleh Nabi, sehingga benar pelaksanaannya. Sunan Kalijaga mencoba memberi nuansa baru pada gelar pertunjukan wayang dengan nilai-nilai yang lebih sesuai dengan ideologi yang dimilikinya, yakni Islam. 3) Doa. Ini termasuk adh’af al-iman (selemah-lemahnya iman). Kalau tidak bisa apa-apa ya…jangan ikut dan tetap aktif secara spiritual, yakni memohonkan kebaikan untuk mereka kepada Allah. Yang terakhir ini dilakukan oleh Nabi, saat nabi berdakwah di daerah Thaif, di mana respon masyarakat saat itu kurang baik. Bahkan, Nabi dilempari kotoran unta dan batu sampai terluka. Rasulullah tidak marah, tetapi justru mendoakan mereka supaya Allah menurunkan rahmatNya pada generasi yang akan datang…Allah A’lam bi al-Shawab.
Siip kang .. semoga manfaatnya banyak bagi kehidupan saya dan orang lain
Subhanallah…
“Soft Arrogant” bagaikan lingkaran hitam ladang amal & iman manusia.
Hatur Kasih atas Ilmunya…
Batas ambang sadar manusia bisa dikatakan terletak pada 3
ego,
id,
super-ego
Imajinasi berbuat baik, padahal dy trus berbuat maksiat apa bagian dari soft arrogant?
Apa jg ada arrogant, tanpa soft yg positit?
Arrogant yang saya maksud adalah kesombongan. Sombong itu kan seseorang merasa lebih hebat dibanding orang lain. Sifat meresa hebatnya ini sampai terwujud (baik perkataan atau pun perbuatan). Kalau dia berimajinasi berbuat baik tapi masih banyak maksiat sepertinya bukan term sombong, tetapi dia masih belum merealisasikan kebaikan yang masih imajinasi (khayalan). Sebenarnya berkhayal berbuat baik itu sudah merupakan kebaikan. Kalau berkhayalnya ini dapat dikategorikan niat. Niat berbuat baik itu sudah dapat poin 1 kebaikan. Kalau sampai terealisasi, dia dapat poin lebih besar lagi, dalam al-Quran dia dapat 10 poin (bisa lebih besar sampai tidak terbatas). Namun, kalau di membangga-banggakan diri dengan khayalannya itu termasuk arrogant juga. Semoga manfaat. Allah A’lam bi al-Shawab. Trims Mas Ari.
Nice article, inspiratif 😀
Ternyata kebanyakan kita masih jauh dari tingkatan nafsu, lawwamah saja masih susah diraih.matur nuwun,